Gambar diambil dari Google
Oleh: Wahyu E.S*
Meskipun dia bukan
kelahiran Solo, namun di Kota Bengawan inilah awal bakatnya di dunia tulis
menulis mulai tampak. Ia memulai karier menulisnya ketika Ia duduk di bangku
Sekolah, sebagai Redaktur majalah Sekolah Dasar di Solo.
Mahbub Junaidi, sosok kelahiran Jakarta 27 juli 1933 ini memang begitu
gemar menulis, bahkan ia pernah berstatemen, “Saya akan menulis dan terus
menulis hingga saya tak mampu lagi menulis.”
Ia adalah anak pertama dari 13 Saudara kandungnya. Ayahandanya H.
Djunaidi adalah tokoh NU dan pernah jadi anggota DPR hasil Pemilu 1955.
Keluarganya harus mengungsi ke Solo karena kondisi yang belum aman pada saat
awal kemerdekaan. Di Solo, ia menempuh pendidikan di Madrasah Mambaul Ulum. Di
tempat itu Mahbub diperkenalkan tulisan-tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan
Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. “Masa-masa itulah yang sangat mempengaruhi
perkembangan hidup saya,” cerita Mahbub.
Saat Belanda menduduki Solo tahun 1948, Mahbub Junaidi dan keluarganya
kembali ke Jakarta. Di Jakarta ia kemudian melanjutkan pendidikannya,
masuk ke SMA Budi Utomo. Di sekolah barunya bakat menulis yang dimilikinya
semakin terasah. Ia sering menulis sajak, cerpen, dan esei. Tulisan-tulisannya
banyak dimuat majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman dan Star
Weekly. Bakatnya ini terus berlanjut hingga ia menjadi mahasiswa,
organisatoris, kolumnis, sastrawan, jurnalis, agawaman, poltisi dan sebagainya.
Ya, selain sebagai seorang penulis, sosok yang satu ini juga dikenal sebagai
tokoh yang multitalenta.
Dalam hal tulis-menulis Mahbub temasuk sangat piawai pada masanya, misalnya
Ia menerjemahkan buku 100 tokoh yang
berpengaruh di dunia karangan Michael H. Hart. Pun, dalam menulis kolom, Mahbub
sangat terkenal dengan bahasa satire dan bahasanya yang humoris. Bahkan, Bung
Karno samapai terkesan dengan tulisan beliau, karena Mahbub mengatakan
Pancasila lebih agung dari Declaration of Independence, sehingga Bung
Karno sempat mengundang Mahbub ke Istana Bogor, dari situlah Mahbub Junaidi
menjadi sangat dekat dengan Bung Karno, dan Mahbub sangat kagum dengan “sang
penyambung lidah rakyat tersebut.”
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme Mahbub. Pada
sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau
Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan
bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua’’, ucap Mahbub saat itu.
Salah satu ciri dari tulisan Mahbub adalah kepandaiannya dalam memasukkan
unsur humor. Humor adalah cara dari Mahbub untuk mengajak seseorang masuk
kedalam suatu masalah, karena salah satu kebiasaan dari orang Indonesia adalah
suka tertawa, maka untuk mengkritik dengan cara yang enak adalah lewat humor.
Sebagaimana yang pernah dikatakan Gus Dur, “dengan humor kita dapat sejenak
melupakan kesulitan hidup.”
Sebagai kolumnis, tulisan Ketua Umum PB PMII Tiga Periodei ini kerap dimuat
harian Kompas, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Pelita, dan TEMPO. Kritik sosial
yang tajam tanpa kehilangan humor adalah ciri khas tulisan Sang Pendekar Pena
ini. Akibat tulisannya yang tajam, Ia pernah ditahan selama satu tahun di tahun
1978. Jeruji besi dan gelapnya penjara tak menghambat nalar menulisnya di dalam
penjara ia menerjemahkan Road to Ramadhan, karya Heikal, dan menulis sebuah
novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Jaya pada tahun 1975.
Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis
dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris. Bagi dunia pers, nama
Mahbub Djunaidi bukanlah nama yang asing lagi. Sebagai seorang wartawan, Mahbub
adalah wartawan pemikir yang cerdas, dan kental, namun juga jenaka dan penuh kejutan-kejutan dalam setiap tulisannya. Dalam istilaah sekarang, ia adalah seorang yang humanis dan moderat.
Menurut Jakob Oetama, Pendiri dan
Pemimpin Umum harian KOMPAS yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya.
Sosok Mahbub Djunaidi, masih menurut
Jakob, mempunyai gaya keunikan tersendiri dalam tulisannya. Ia seakan bersaksi dalam buku “Mahbub Djunaidi, Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern”. Menurutnya, kalau kebanyakan penulis adalah menganalisa suatu masalah dan baru menjelaskan ide-nya, maka Mahbub tidaklah demikian. Baginya, suatu peristiwa, kejadian, atau sosok orang bisa dijadikan alat untuk menjelaskan ide-idenya.
Karier Dalam Partisipasi Politik Bangsa.
Dalam kariernya sebagai aktivis mahasiswa, Mahbub Junaidi bersama
sahabat-sahabatnya membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada
17 April 1960, dan pada saat itu juga Mahbub Junaidi terilih sebagai ketua
umum. Jabatannya sebagai Ketua Umum PP.PMII diembannya selama tiga periode,
yaitu periode 1960–1961, hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII
pertama kali didirikan di Surabaya Jawa Timur. Periode 1961-1963, Hasil Kongres
I PMII di Tawangmangu Jawa Barat. Dan Periode 1963-1967, hasil Kongres PMII II
di Kaliurang Yogyakarta.
Pada masa kepemimpinan Mahbub
Junaidi inilah PMII secara politis menjadi sangat populer di dunia
kemahasiswaan dan kepemudaan, sampai pada periode pertama sahabat Zamroni.
Pernah ketika itu, sebagai ketua umum PMII dirinya menunjukkan tajinya, saat
HMI hendak dibubarkan oleh Bung Karno, dikarenakan tokoh-tokoh Masyumi terlibat
dalam pemberontakan PRRI PERMESTA di Sumatera Barat, Mahbub yang menjabat
sebagai ketua PMII langsung berangkat ke Istana Bogor untuk berdialog langsung
dengan Bung Karno, dan pemintaan Mahbub sangat tegas, yaitu “HMI jangan
dibubarkan.” Dan akhirnya tuntutannya itu terkabul.
Di masa
pemerintahan Orde baru adalah masa pesakitan bagi Mahbub Junaidi, beliau merasa
kariernya sebagai wartawan yang kritis dan lugas terasa dibungkam pada saat
itu, bahkan beliau pernah dipenjara oleh rezim tersebut karena dituduh terlibat
dalam peristiwa G 30 S/PKI,padahal itu sesaat setelah Dia terpilih sebagai
ketua PWI.
Saat menjadi aktivis mahasiswa, Mahbub
juga ahli dalam membuat lagu, mars PMII dan mars Gerakan Pemuda Ansor juga
ciptaan dari Mahbub Junaidi. Dari kariernya sebagai ketua umum PB PMII, membuat
kaiernya melesat ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sebagai jurnalis, penulis dan sastrawan, Mahbub telah meraih prestasi yang
sangat baik. Tulisannya sebagai Pemred Duta Masyarakat telah menunjukkan benang
merah dari gagasan dan pikirannya mengenai berbagai masalah yang dihadapi
bangsa. Perjalanan panjang dalm organisasi di lingkungan NU dapat menjadi bukti
dari pengabdiannya kepada masyarakat.
Kiprahnya sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dapat dari
petunjuk dari pengabdiannya dalam mengembangkan kehidupan pers nasional.
Tulisannya sebagai sastrawan telah menununjukkan keragaman kemampuan yang
dimilikinya dengan meraih penghargaan sastra tingkat nasional. Kolom “Asal
Usul” yang dimuat secara tetap di tiap hari minggu harian Kompas selama jangka
waktu yang cukup lama menunjukkan kemampuan Mahbub dalam menulis dan daya pikat
tulisannya terhadap masyarakat. Gaya tulisannya sekarang banyak ditiru oleh
penulis Indonesia.
Mahbub Djunaidi adalah tokoh nasional yang bersahaja, seorang jenius yang
berkarakter mengamati perkembangan hidup melalui tulisan-tulisannya, penggerak
organisasi dan seniman politik yang dimiliki oleh NU dan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Mahbub Djunaidi meninggal dunia pada tahun 1995 di usia 62 tahun,
usia yang masih cukup untuk beraktivitas dan berjuang.
Sedikit akan ditambahkan pula kata-kata mutiara darinya yang tentunya bisa
menjadi gerakan motivasi bagi kita sebagai kalangan intelektual, mahasiswa,dan
terpelajar yang memiliki pandangan idealis dan semangat praktis agar selalu
siap melanjutkan setiap perjuangannya tanpa ada kata berhenti.
-
Tanamkan ke kepala anakmu sedalam-dalamnya, bahwa hak
asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi yang kita makan sehari-hari.
-
Setolol-tololnya orang adalah yang tak tahu apa itu
sejarah bangsanya,dan sehina-hinanya orang ialah yang berani memalsukan sejarah
bangsanya.
-
Ketika dianugerahi harapan, orang menggunakannya
sebagai bahan bakar dan tujuan untuk menjalani hidup, tanpa harapan, manusia
tidak bisa bertahan hidup.
-
Jadilah
orang yang hidupnya suka menulis, karena dengan menulis dirimu bisa lebih
banyak mengenal sisi utama kehidupan manusia yang ada di seluruh dunia.
*Adalah Mahasiwa Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 Response to "Mahbub Djunaidi, Pendekar Pena Multitalenta"
Posting Komentar