MARINKA



 
illustrasi dari http://mixppl87.blogspot.com/


Oleh: Dwicipta*

Ia bangun pagi saat langit tak jemu-jemunya menurunkan hujan. Bukan oleh hawa dingin dari hujan semalaman. Atau karena dering alarm yang masuk liang telinga. Atau karena guncangan dari seseorang yang membangunkanya. Ia terbangun oleh aroma kayu manis dan bedak bayi yang masuk lubang hidung. Antara sadar dan tidak, masih di atas kasur yang hangat, pikirannya telah terpental jauh ke jalanan kampus yang lebar, pepohonan teduh di halaman Fisipol, guguran daun tertutup lumpur, wajah kecil, leher gading, dan bandul kalung berlambang swastika. Tampak jelas lengan kanan Marinka berayun-ayun meski tangan kiri menenteng rantang makanan.

Kalau hawa dingin tak mampu membekukan tubuh, peristiwa bertahun lalu itu justru membuat jiwanya mati rasa. Kemuraman dari pemandangan langit di luar sana barangkali masih lebih baik dari benaknya. Di bulan Januari yang sama, delapan tahunan lalu, hidungnya bebas menciumi aroma harum melati dari rambut lurus sebahunya. Matanya sering terpaku pada kemeja putih yang berpadu dengan blus tipis merah jambu. Dari balik blus merah jambu tersebut aroma bedak bayi menguar. Dunianya terang-benderang. Alunan lagu-lagu kasmaran dan kerinduan yang tak dapat ditahan selalu mengiringi liang telinganya ketika matanya akan terpejam dan dan terbuka kembali di pagi hari berikutnya.

Menelan rasa pahit menyakitkan, ia berusaha memejamkan mata. Usahanya gagal. Dering telepon sejenak mengalihkan perhatiannya. Ia melirik nama si penelpon. Ibu. Sepagi ini sudah menelpon!

Begitu diangkat, suaranya hadir dengan intonasi sama: padat, tegas, dan menyita perhatian. Untuk apa kau habiskan waktu bersama garam, merica, terasi, bawang, cabai, dan bumbu-bumbumu? Laki-laki tak layak tinggal di dapur. Apa tak malu dengan istrimu nanti kalau dia bekerja di luar sementara kau sibuk di dapur? Selama beberapa menit telinganya banjir keluhan. Lalu suara dari seberang telepon melunak. Mungkin ia sadar sejak tadi terus nyerocos sementara sang anak hanya jadi pendengar. Tak lama kemudian suara telepon putus.

Ia merapikan kasur, melipat selimut, dan menyalakan musik era tujuh puluhan yang memberi semangat hidup: Badai Pasti Berlalu.
***

Kalau mau mencari biang kerok dari berbagai kesulitan hidupnya, ia akan menunjuk satu orang: Neneknya! Perempuan itu yang membawanya ke dapur. Mulai dari mitos guci penyimpanan air, cara meraci bumbu, hingga pesan membahagiakan pasangan lewat masakan. Dialah yang memberitahu air guci harus diendapkan seharmal sebelum dipakai memasak, berapa gula yang dihaluskan dalam bumbu tempe atau tahu goreng supaya tak gosong, dan besar perapian yang harus diperhatikan saat memasak.

“Ingat,” ujarnya. “Kalau sudah menikah, kau yang harus memasakkan istrimu, bukan sebaliknya.”

“Memangnya kenapa?”

“Sesekali lelaki melayani perempuan, jangan perempuan terus yang melayani laki-laki.”

“Tapi ayah tidak pernah memasak untuk ibu.”

“Ibumu kan pintar memasak.”

“Nenek yang mengajarinya memasak?”

“Bukan. Ibumu memang pintar memasak”

Di rumah besar Sang nenek, selain memasak, ia bisa bersembunyi di kamar beraroma akar-akaran wangi. Bila ibunya murka, dengan enteng diambilnya jilid-jilid cerita silat, mengunci kamar sang nenek dari dalam, dan bertualang bersama tokoh ceritanya ke teluk Pohai atau Lembah Naga, berkhayal jadi Bu Pun Su yang mencari im-yang-bu-tek-cin-keng atau menjadi perayu wanita seperti Tang Hay. Ketika kemarahan sang ibu mereda, sang nenek menyuruhnya keluar kamar. Sebagai balasan atas kebaikan neneknya ia harus rela membantu mengambil air dari sumur atau menyalakan perapian berbahan bakar kayu.
***

Semasa kuliah, hampir saja kebiasaan memasaknya lenyap. Ia lebih banyak berhadapan dengan buku-buku politik, tenggelam dalam arus besar gerakan mahasiswa yang bersemangat menggulingkan diktator militer, dan mencuri sedikit waktu di perpustakaan. Tangannya bersih dari aroma minyak tanah atau sabun cuci piring. Hidungnya tak lagi bersin-bersin akibat aroma tumisan bumbu.

Dari semua kebiasaan lama, hanya kesukaan membaca cerita yang tak pernah hilang. Hingga pada suatu pagi yang dingin di bulan Januari yang tiada jemu menurunkan hujan, ia melihat seorang perempuan berdiri di salah satu lorong rak perpustakaan. Begitu tekunnya perempuan itu mengamati judul buku di rak yang posisinya lebih tinggi dari leher sehingga tak sadar ada seorang lelaki mengamatinya dari ujung lorong. Kalung hitam yang melingkari lehernya benar-benar bagus. Tapi... benarkah kalungnya bagus? Ataukah ada yang membuat kalung itu tampak bagus. Lalu apa? Lehernya mungkin. Mungkin juga kombinasi warna gading dan hitam kalung di leher yang membikinnya jadi bagus.

Perkara leher membuat ia tak sadar kalau perempuan itu telah berpaling dan gantian menatapnya. Dan perempuan itu tersenyum ramah! Senyum yang memberanikannya membuka pertanyaan: buku apa yang sedang dicari, apa yang sedang dikerjakannya, dimana ia tinggal, hingga makanan apa yang ia suka. Kenapa ia bertanya makanan kesukaan? Ah, memang siapa yang bisa mengendalikan pertanyaan di hadapan perempuan secantik ini. Yang lebih penting ia tahu nama perempuan itu: Marinka. Mungkin masih ada darah Rusia dalam tubuhnya sehingga namanya terdengar aneh, Marinka. Seperti nama salah satu tokoh dalam novel yang sangat ia sukai, Dr. Zhivago.

Pertemuan dengan Marinka menghidupkan kembali gairahnya ke dunia dapur yang pernah sangat diakrabinya. Betapa ganjil berhadapan kembali dengan panci, wajan, cobek, ulekan, dan berbagai alat masak. Begitu juga dengan perubahan garam, jenis cabai, bawang, dan bumbu lainnya. Ia seperti diledek tiap kali tangannya menyentuh berbagai bumbu dan peralatan memasak itu.

“Mengakrabi kembali teman-teman lama hanya karena kehadiran seorang perempuan. Benar-benar memalukan,” bisik cabai dengan pedas.

“Tapi hidup tak akan berasa tanpa cinta, betul tidak?” ujar garam.

“Setelah ini kau akan tampil wangi dan menyembunyikan kelemahan-kelemahan dirimu di depan perempuan itu,” ujar daun salam dan serai.

“Dan malam-malammu akan hangat, bahkan panas, terbakar bara panas dari tatapan matanya,” ujar merica dan jahe.

Ia tersenyum sendiri dengan percakapan konyol pada bumbu dan peralatan memasaknya. Begitulah, selama tak di perpustakaan, ia sibuk di dapur, akrab kembali dengan peralatan yang terpacak di sekitar perapian, mencoba porsi garam dan gula pada masakan, membongkar seluruh ingatan yang ditularkan neneknya, mengenali kembali sayur atau daging segar dan lama, dan menyusuri lorong pasar yang riuh di pagi hari sebelum lengang menjelang sore. Ia geli sendiri mencari sepasang rantang kecil di sebuah toko yang menyediakan peralatan masak lengkap agar ada alasan bertemu Marinka.

Hidangan pertama untuk Marinka adalah serantang kecil kolak dari ketela, labu, dan pisang. Menerjang hujan lebat yang mengguyur seluruh bagian kota, ia membawa kolaknya ke kampus sebelum Marinka masuk kelas. Jika pada pertemuan pertama ia begitu terpesona pada leher Marinka, di momen ini matanya terpaku pada rambut lembab dan sorot matanya yang gemilang. Manisnya... Betapa benarnya ramalan merica dan jahe saat ia duduk bersama kawanannya di dapur. Dalam kepungan hawa dingin hidangan manis itu terkunyah pelan dimulut Marinka dan dirinya.

“Aromanya harum. Ada kayu manisnya?” tanya Marinka sembari mengunyah kolak.

“Kayu manis dan jahe. Bagus untuk melawan hawa dingin.”

“Kau membikinnya sendiri?”

Ia mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Aku tak bisa memasak dan tidak akan mau memasak.”

Pernyataan pertama membuatnya senang. Namun pernyataan kedua membuatnya sedikit bingung. Ia bengong sebentar sebelum menjawab ragu.
“Kalau tak mau memasak semoga ada orang yang bisa memasakanmu.”

Ia menyesal melontarkan kata-katanya sendiri. Untung Marinka tak memerhatikan ucapannya. Lagipula pagi saat-saat paling menyenangkan dalam hidupnya itu harus dikutuk karena berlangsung pendek. Begitu kolak tandas, pujaan hatinya masuk ke kelas. Bingung mau apa, ia memilih masuk ke perpustakaan, menyusuri lorong rak buku yang tinggi, kadang melompat kegirangan mengingat hal-hal yang baru lewat.
***

Lamunannya lenyap oleh siulan ceret di atas kompor. Segera ia tuang air ke gelas yang telah diisi kopi dan susu. Aroma harum kopi menyusup ke lubang hidung. Ia menyesap kopi susu panas dan menyalakan sebatang rokok.

Cuaca sedingin ini akan enak kalau membuat sup brokoli dan wortel. Namun ia hanya membutuhkan segelas kopi susu dan rokok untuk mengusir kemurungan yang menerjang setiap bulan Januari. Kopi susu, rokok, dan lagu-lagu dari album Badai Pasti Berlalu yang dibawakan Chrisye dan Berlian Hutauruk. Muncul pikiran gila untuk mencatat sebanyak apa rokok dan kopi susu yang ia habiskan serta sesering apa album lama Erros Djarot ia putar. Ia sadar pikiran konyol di benaknya hanya ada dalam film-film. Kalau pun benar dilakukan oleh orang patah hati, tentu itu dilakukan oleh orang patah hati yang kurang kerjaan.

Sup brokoli dan wortel, nasi tim, hawa dingin, dan bibir lembut Marinka pernah menjadikannya laki-laki paling beruntung di dunia. Kekenyalan bibir yang selalu mengingatkannya pada kue lapis yang dijual di sebuah toko kue di pasar Kota Gedhe. Di masa-masa itu mereka lebih banyak menonton film nyaris sepanjang hari, lalu berkeliling kota membuang kesuntukan, mampir ke Kota Gedhe untuk mencoba-coba berbagai kuenya yang enak, dan di akhiri dengan duduk tenang di atas jembatan layang sembari menyaksikan bintang di langit. Semuanya masih tampak segar di benaknya. Sekaligus membuka luka lama yang menyakitkan. Untung dua tahun terakhir ini ia tinggal sendiri di kontrakan yang mungil. Kalau saja ia masih tinggal bersama teman-temannya, mungkin mereka akan terus menertawainya karena kebiasaan yang ia lakukan: menghidangkan dua porsi makanan di atas meja, duduk sendirian di meja, dan menikmati makanannya sembari bergumam atau berbicara sendiri!

Sampai sekarang ia tak memiliki jawaban meyakinkan kenapa Marinka meninggalkannya. Tiada penolakan saat ia membawakan masakan. Tak ada ungkapan kekecewaan karena ia lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan atau di dapur. Setelah lulus teman-temannya berpencar ke delapan penjuru mata angin dengan pekerjaan mentereng. Ia, yang lulus dengan nilai pas-pas-an, memutuskan hanya bekerja paruh waktu menjadi barrista dan koki dari satu kedai ke kedai kopi lain. Pilihan hidup inilah yang membuat ibunya jengkel sekaligus menahan malu pada tetangganya. Sedangkan Marinka? Ia tak pernah mempermasalahkannya.

Enam bulan sebelum berpisah, Marinka selalu mengajaknya ke stasiun. Di pagi atau sore hari ia mengajak ke palang pintu kereta dekat stasiun. Di malam hari mereka duduk-duduk di dekat tempat parkir agar bisa menyaksikan para penumpang keluar masuk peron. Bahkan di beberapa kesempatan, Marinka nekat masuk ke stasiun lewat palang pintu. Mereka pernah ditegur satpam dan digiring keluar stasiun. Tapi Marinka tak kapok. Ia tetap mengajaknya menyelundup ke dalam stasiun. Kakinya lincah mengikuti rel kereta, berpindah dari satu jalur ke jalur lain. Begitu letih, ia duduk di atas rel, mengeluarkan botol minuman, dan tenggelam dalam keheningan yang terasa meresahkan.

Ia pernah bertanya kenapa Marinka memilih bermain di sekitar stasiun.

“Aku suka kereta api. Suka lajur-lajur rel ini. Suka keheningan dan keriuhan orang-orang yang datang dan pergi meninggalkan stasiun.”

“Kenapa kita tak mencoba bepergian dengan kereta?”

“Suatu hari nanti kita akan bepergian dengan kereta. Tapi tidak sekarang.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

Ia diam. Beberapa waktu kemudian sebuah kereta eksekutif lewat cepat dengan sorotan cahaya lampu yang terang.
***

Manusia merancang rencana hebat. Namun kehidupan sering berbelok ke arah yang lain. Tanpa setahu Marinka, sebenarnya ia berencana membuat rumah makan sederhana di sekitar kota baru. Waktu dua tahun bersama Marinka telah melahirkan sederet menu yang bisa memuaskan calon pengunjung rumah makannya. Gulai kepala ikan, rendang jamur, sayur bening, sop brokoli, pare isi ikan tongkol, aneka sambal, mi goreng dan rebus rempah, aneka masakan tempe, dan sebagainya, dan sebagainya.

Seluruh rencananya berantakan karena kepergian Marinka. Peristiwa menghilangnya Marinka terjadi pada suatu pagi di bulan Februari yang sejuk, saat ia bersusah payah membawakan pho khas Vietnam dari kontrakannya. Rumah tampak sunyi. Telepon genggam Marinka mati. Ia menunggu satu jam di depan rumah. Pho di rantang mulai dingin. Ketakutan tak berdasar menyergap. Sejam terduduk lemas di depan pintu, datanglah pemilik rumah. Lelaki berkumis mirip Pak Raden itu memberitahu Marinka tak lagi mengontrak rumahnya.

Sejak pagi itu, bila kakinya terayun, ia seperti mengejar bayang-bayang Marinka. Seluruh jalanan dan gang kota dijelajahi. Tempat yang biasa didatanginya bersama Marinka didatangi. Tubuhnya keluar-masuk stasiun. Lubang hitam jiwanya membesar dan menelan akal sehatnya. Sesampai di rumah, ia ke dapur, memasak nyaris tanpa mengeluarkan suara. Orang yang mengajaknya ngobrol hanya ditanggapi seperlunya. Dalam cekaman kehilangan itu, ia memasak dengan teliti, cermat memperhitungkan perapian, dan menjaga kebersihan dan peralatan dapur sampai ke taraf yang mengherankan.

Hanya ada satu persoalan di setiap masakannya: garam. Ketidaktepatan ukuran garam sejak kepergian Marinka membuatnya putus asa. Ia sering termenung bagaimana jari jempol, telunjuk dan jari tengah yang biasa dipakai menentukan ukuran garam tak lagi manjur. Apakah ia dikutuk tak lagi bisa memasak? Dan apakah kutukan tak lagi bisa memasak ini akibat kepergian Marinka? Betapa tak adilnya kehidupan ini kalau ia harus menanggung kehampaan ini. Marinka entah dimana dan kemampuan memasaknya lenyap.

Dan di Januari seperti ini, setelah hujan turun semalaman dan hawa dingin menyergap di pagi hari, aroma kayu manis dan bedak bayi hadir di lubang hidungnya. Ia berangan-angan, saat aroma itu muncul dan ia belum terjaga, pintu depan akan diketuk orang. Begitu ia membuka pintu, Marinka, dengan kalung hitam dan rambut indahnya, akan merentangkan tangan menyambutnya.

Sayang, ia tak hidup dalam angan-angan.

Yogya, Oktober 2015

*Penulis cerita dan esai. Belajar menulis dan menerjemah secara otodidak. Kini sedang belajar di dunia penerbitan dengan ikut mendirikan dan menahkodai Literasi Press.

0 Response to "MARINKA"