Judul :
Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani Urutsewu : etnografi wilayah konflik agraria di Kebumen
Editor :
Dwi Cipta dan Hendra Tri Ardianto
Penerbit :
Literasi Press, Yogyakarta
Edisi : Pertama, 2015
Tebal : xiv + 276 halaman
“ketika
junalisme di bungkam sastra harus bicara” Seno Gumira Ajidarma.
Kalimat kutipan
di atas yang juga sebuah judul buku karya penulis tersohor Seno Gumira Ajidarma sangat
menggugah kita semua, ditengah krisis investigasi yang dilakukan oleh pelaku
jurnalis kita belakangan ini, yang kita
tahu posisinya sangat sentral dalam penggalian sebuah
kasus. Bak seorang detektif yang harus memecahkan masalah, jurnalis dituntut untuk melakukan investigasi
secara mendalam dan menyeluruh, sehingga akan didapatkan data yang valid dan juga objektif dalam
pemberitaannya.
Namun ada hal
yang sangat mengusik dalam dunia jurnalisme kita belakangan ini, kini jurnalisme terbelenggu oleh seribu satu
kendala, mulai dari bisnis hingga masalah
politik, ketika jurnalisme di kendalikan oleh para pelaku bisnis yang
memiliki media tersebut maka mau tak mau media itu pasti akan membela tuannya.
Dan ketika jurnalisme di bredel oleh kekuasaan karna dianggap berbahaya dan
mengancam kenyamanan kekuasaan atas pemberitaannya, maka sastralah yang
berperan untuk menyuarakan fakta yang sebenarnya.
Buku seni dan
sastra untuk kedaulatan petani urutsewu ini nampaknya mengingatkan kita kembali
akan manjurnya seni dan sastra sebagai senjata untuk menyampaikan kebenaran
dan sebagai alat perjuangan . buku yang
ditulis oleh beberapa orang ini, baik
dari elemen akademisi, jurnalis, aktivis, pendidik maupun warga lokal setempat meyakinkan
kita kembali bahwa kehadiran seni dalam masyarakat bertujuan
diantaranya : seni harus menjadi proses penyadaran kondisi sosial masyarakat
pelaku kesenian, terutama dalam
ketimpangan kekuasaan dan pemilik modal, seni juga harus di gunakan untuk
mempertahankan hak, seni juga sebagai alat pemersatu dan menggerakkan
masyarakat yang telah memiliki kesadaran dan kemauan untuk bersama-sama
memperjuangkan apa yang menjadi hak dalam kehidupannya.
Buku terbitan
Litersi Press ini sangat menarik karena, pada awal buku ini sudah menjelaskan
posisi atau sikap para seniman. Bagaimana seniman harus berkesenian dan
menggunakan seninya sebagai alat untuk mempertahankan hak masyarakat yang
sedang berjuang di area konflik, dimana mereka tinggal dan
menjalani aktivitas. Seniman harus memiliki kepekaan dalam ruang
hidupnya, melihat apa yang sedang terjadi dalam masyarakatnya, memperjuangkan
hak-hak yang menjadi miliknya dan menolak segala bentuk apatis dan apolitis
terhadap persoalan masyarakat.
Pada
kenyataannya seni memang diciptakan oleh masyarakat, seperti pada pembuka buku
ini, “Masyarakat bukan diciptakan untuk seniman, tetapi seniman tercipta untuk
masyarakat” George Plekhanov. Artinya seniman lahir untuk memperjuangkan
masyarakatn yang sedang ditindas dengan keseniannya dan menggunakan keseniannya
sebagai alat pembebasan.
Konflik yang
sampai sekarang bergolak di Urutwewu mengakibatkan tekanan tersendiri pada
masyarakat, baik tekanan secara fisik maupun mental, konflik yang di latar
belakangi oleh pemagagaran lahan pertanian oleh militer coba diuraikan juga
dalam buku ini, latar belakang konflik agraria Urutsewu akan di jelaskan secara
rinci kronologi awal mulanya terjadinya konflik, di antaranya oleh Pak Seniman
Martodikromo, Widodo Sunu Nugroho, Ubaidillah dan Bosman Batubara (Hal. 51-59).
Dalam tulisannya
mereka mencoba untuk menjelaskan duduk perkara dari persoalan klaim yang
dilakukan TNI AD terhadap tanah di sepanjang kawasan Urutsewu, konflik ini tidak dapat dilihat dan difahami hanya
sepintas belaka, agar persoalan itu dapat difahami maka diperlukan pengetahuan
yang tepat untuk mengantarkannya pada persoalan, dalam tulisan tersebut akan dipaparkan bagaimana
kronologi konflik tanah bisa terjadi di Urutsewu.
Buku yang sangat
kaya dengan nuansa seni dan sastra ini juga menghadirkan bagaimana warga saling
gotong royong, mereka membuat arak-arakan budaya sebagai cara ampuh untuk menyatukan
elemen masyarakat. Acar-acara kesenian yang di motori oleh kawan-kawan dari
ESBUMUS(Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urut Sewu) ini mampu mewakili suara pelaku seni yang
masih setia pada jalan lurus yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa yakni
menyuarakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dan menjadi angin segar
didalam dunia pelaku kesenian yang sampai sekarang masih banyak yang ragu dalam
menyuarakan Keadilan.
Sudah seharusnya
memang para pelaku kesenian memikirkan hal ini, memiliki sikap yang jelas dalam
hal pembelaan terhadap masyarakat marginal atau yang sedang dilanda konflik.
Buku yang terbit pada pertengahan tahun ini
menjadi angin segar bagi para pemerhati seni dan sastra, bagi
mereka yang sangat berharap besar pada dunia sastra untuk membicarakan jurnalisme yang telah dibungkam oleh
kepentingan pemilik modal. Kalau jurnalisme punya seribu satu kendala maka
sastra hanya memiliki satu kendala yakni kejujuran.
Seni dan sastra
sebagaimana yang di katakana oleh Georgi Plekhanov sangat dekat sekali dengan masyarakat, lahir
dan berkembang dalam lingkungan masyarakat. Artinya
seni dan sastra sangatlah ampuh digunakan sebagai senjata untuk melakukan
perlawanan atas kelaliman yang dilakukan oleh para bandit di negri ini, dengan
seni dan sastra maka gerakan ini sangat mudah difahami oleh masyarakat. buku
ini juga sangat cocok digunakan sebagai buku pedoman untuk melangkah bagi para
pelaku kesenian dan kebudayaan yang ingin berjuang di wilayah konflik mengingat
didalamnya sangat kaya sekali dengan strategi dan upaya yang harus ditempuh dalam menyuarakan
keadilan melalu seni dan satra.
Tidak hanya
untuk para pelaku seni dan sastra saja, namun buku ini juga sangat cocok bagi
kalangan akademisi, LSM, pegiat literasi, pegiat HAM dan lainnya yang tertarik
menjadikan seni dan sastra sebagai senjata untuk mengawal perjuangan hak-hak
hidup masyarakat, menjadikan seni dan sastra tidak hanya sebagai keindahan
kata-kata belaka, tidak memahami seni hanya untuk seni, yang berdiri sendiri diruang
kosong dan sulit difahami. Maka sudah saatnya seni berbicara tentang ketimpngan
dalam masyarakat, seni harus menyuarakan keadilan dan seni harus menjadi alat
pembebasan, bukankah dalam dunia seni maupun sastra dikenal dengan istilah dulce
et utile yang artnya seni atau sastra harus memenuhi dua unsur yakni
menghibur dan memberi kegunaan, Buku inilah jawaban dari apa yang sudah
semestinya harus dilakukan.
M.Bahaomed, penikmat sastra, bergiat di
komunitas kajian sastra at-thoweriyyah, Yogyakarta.
0 Response to "Menyuarakan Keadilan Melalui Seni dan Sastra "
Posting Komentar