Antara “Kemiskinan, Kebodohan, dan Kesempatan”

         


Apakah ada hubungan antara “kemiskinan” dan kebodohan?. tentunya hal ini menjadi pertanyaan yang mendasar ketika kita sedang membicarakan tentang pendidikan dan sumber daya manusia di Indonesia ini. Masalahnya adalah apakah memang benar kedua aspek tersebut secara signifikan merupakan kondisi yang sama? Apakah memang benar jika kita miskin, maka secara otomatis kita bodoh? Apakah kemiskinan memang mampu menyebabkan kita bodoh? Ataupun sebaliknya.
                Selama ini memang sudah menjadi sebuah fenomena ataupun sebuah pandangan bahwa orang-orang miskin itu identik dengan kebodohan, jika perokonomiannya rendah atau lemah, atau sering juga disebut dengan “orang miskin”, maka secara otomatis dianggap bodoh. Kita tidak mengetahui secara jelas apakah hal ini merupakan sebuah kenyataan, sebab kenyataanya tidak semua benar,  karena di Indonesia ini juga tidak sedikit orang miskin yang pinter, dan banyak sekali orang kaya yang bodoh, berarti secara tidak langsung anggapan di atas itu tidak selalu benar dan tidak bisa disalahkan juga. Sebenarnya kemiskinan hanyalah sebuah kondisi  yang memaksa kita tidak mampu secara financial untuk memenuhi tuntutan dunia pendidikan, yang memang disebabkan mahalnya tuntutan pendidikan pada hari ini,  sementara kebodohan itu sendiri merupakan tingakatan kemampuan yang dimilki seseorang setelah diukur dalam sebuah proses pembelajaran bahkan di dalam proses pendidikan, kita tidak boleh mengatakan seseorang itu bodoh, kata bodoh merupakan vonis mematikan bagi kelangsungan belajar seseorang, oleh karena itulah, maka dalam konsep dunia pendidikan  kita tidak boleh mengatakan anak didik sebagai bodoh, melainkan diganti dengan kata yang lebih halus misalnya belum pandai, hal ini dikemukakan karena pendidikan dan pembelajaran adalah sebuah proses, maka membutuhkan waktu dan selalu melalui tingkat kondisi yang semakin membaik. Seperti halnya pisau tumpul, semakin dia diasah maka ia semakin tajam, dan semakin dia sering dipakai, maka semakin sering juga dia diasah, jadi pisau itu akan semakin tajam.
                Berarti memang sudah jelas bahwa kemiskinan itu bukanlah tolak ukur seorang bisa dianggap sebagai orang yang bodoh, tapi jelas-jelas bisa mengkondisikan seseoranng menjadi orang yang belum pandai, mereka tidak dapat mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, sebab secara ekonomi mereka tidak dapat menutup tuntutan biaya pendidikan yang semakin tinggi, bahkan setiap ada ajaran baru pasti tuntutan biaya itu dinaikkan pula, apalagi untuk pendidikan yang berkelas, malah sangat jauh dari angan dan bayangan.
                 Maka kesempatanlah yang sesungguhnya menjadi penyebab utama seorang menjadi belum pandai secara intelektual, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara terbimbing. Mereka harus belajar sendiri dari alam, sebab alamlah guru yang terbaik bagi mereka, “mereka belajar secara autodidak” sesuai kemampuan yang mereka miliki. Tetapi sekali lagi, orang miskin bukanlah orang bodoh! Hal ini sangat penting kita tekankan dalam presepsi kita untuk menghindari deskriminasi proses. Dan untuk solusi dari hal tersebut, maka tidak dapat tidak kita harus memberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran pada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat stratra kehidupan ekonomi, bahkan seharusnya orang miskin mendapat  perhatian lebih dari semua pihak agar mereka dapat mengembangkan kemampuan mereka secara proposirsional, sesuai dengan kemampuan dasar yang mereka miliki dalam diri mereka.


Oleh: Mohammad Agung Badrus Shofa’
Korp: Bhineka Tunggal Ika (BETA)

0 Response to "Antara “Kemiskinan, Kebodohan, dan Kesempatan”"