Sumber: Google.com |
Waktu sudah malam. Pasar seperti kota mati. Tidak
ada seorang pun di sana; hanya mereka berdua yang tidur di depan toko dengan
berlaskan lantai kotor dan berbantal selimut lusuh yang tak layak lagi digunakan.
“Kau lapar, Nak?” tanya ayah.
“Tidak, Yah. Jono masih kenyang. Kalau Ayah lapar,
makan saja. Jangan khawatirkan Jono,” jawab Jono pada Ayahnya yang sedang
membersihkan lantai.
“Tidak, Nak, tidak! Ayah juga kenyang. Kalau begitu
mari kita tidur. Besok kita harus bangun pagi agar tidak dimarahi sama pemilik toko kayak kemarin.”
Ya, jika mereka bangun terlalu siang, pemilik toko
akan marah-marah. Suatu kali mereka pernah diguyur air karena kesiangan bangun.
Dan, mereka mendapat omelan yang
menyakitkan hati. “Dasar pemalas, bangun kalian! Jam segini, binatang sudah
bangun. Kalian, jam segini belum bangun juga. Besok jangan tidur di sini. Aku
tidak sudi tokoku ini ditiduri oleh pemulung.” Bentak pemilik toko. Meski telah
mendapatkan teguran, mereka tetap juga tidur di toko itu.
Sebab, tempat itulah yang paling aman dari razia Satpol PP. Jika tidur
sembarang tempat, tidak segan-segan Satpol PP akan merazia mereka dan membuang
mereka di tempat yang jauh dari kota; tempat yang jauh, sehingga untuk kembali
ke kota, aksesnya susah dan ongkosnya itu seperti biaya untuk makan satu hari
mereka.
Keesokan hari mereka bangun tepat waktu; sebelum
pemilik toko membuka tokonya. Pasar mulai ramai. Penjual-pejual berdatangan dan
mempersiapkan dagangannya. Mereka bangun dan mulai bekerja. Dari satu tempat ke
tempat yang lain, mereka susuri. Tetapi mereka akan menghindari pusat kota,
karena di sana telah banyak plang yang melarang pemulung dan pengemis
berkeliaran. Untuk hal ini, Jono dan ayahnya patuh.
“Yah, hari ini kita ke mana?” Tanya Jono seraya
mengucek matanya, dan sambil menghadang sinar matahari pagi yang menerpa
mukanya secara langsung.
“Ayah tidak tahu. Ayah belum memikirkan itu.
Sekarang kita jual dulu hasil mulung kemarin. Habis itu kita makan dan mulai
cari lagi.” Ayah Jono, membersihkan debu yang
menempel di bajunya.
Mereka pergi menjual hasil mulung kemarin. Hasil
yang didapat tidak seberapa, cuman 13 ribu rupiah. Ini hanya cukup untuk
membeli sebungkus nasi dan es teh. Ayah Jono menawar pada penjual nasi untuk berbaik hati agar, dengan uang seadanya itu, bisa membeli dua bungkus nasi dan dua air minum.
Tetapi penjual nasi menolak. Sekarang ini apa-apa serba mahal dan sudah umum
harga nasi segitu di kota. Itu pun sangat murah; celetuk tukang nasi itu.
Bagi orang yang hanya bekerja sebagai
pemulung sudah cukup mahal. Bagaimana tidak, hasil mulung Jono dan Ayahnya
paling banyak 20 ribu sehari, merekapun beranjak dari warung nasi itu.
Ayah Jono tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya
menerima apa adanya. Kalau memang itu yang mampu untuk dibeli, Ayah Jono tidak
mau protes. Pun kalau mau protes ke
siapa. Tentu tidak ada yang akan mendengar.
Sebab, di jaman sekarang orang-orang bersikap cuek dan tidak peduli
dengan keadaan orang-orang seperti mereka. Tapi untung mereka bisa makan, itu
sudah cukup membuat mereka senang. Daripada tidak bisa makan, lebih baik
menerima yang ada saja. Mengeluh itu tidak baik, kata yang sering Jono
diucapkan oleh ayahnya.
“Hasilnya hanya dapat satu bungkus nasi, kau saja
yang makan. Ayah masih kenyang,” kata Ayah Jono, berbohong pada Jono.
“Tidak, Yah. Ayah harus makan juga. Jono tidak mau
jika Jono saja yang makan, sedangkan Ayah tidak makan. Ayah lapar, kan?”
“Sungguh, Jon! Kau saja yang makan. Iya, lapar tapi
Ayah masih kuat menahan lapar sampai besok.”
“Bukan kah Ayah yang selalu bekata padaku kalau orang
yang hidup bersama tapi tidak bersama menanggung rasa adalah orang yang tidak
pantas untuk hidup. Bukankah, begitu? Kalau Ayah tidak makan, Jono tidak mau
makan. Lebih baik nasi ini diberikan ke pada orang yang lebih membutuhkan, atau
dibuang saja kalau perlu.” Wajah Jono mengisyaratkan kekecewaan. Jono tidak
sedih kalau ia lapar. Soal lapar, mereka sudah terbiasa lapar. Akan tetapi,
Jono hanya merasa tidak pantas jika dirinya yang kenyang sedangkan Ayahnya yang
sekian tahun sejak ibunya telah tiada, menemani Jono hidup dijalanan,
kelaparan.
Ayah Jono menangis mendengar perkataan Jono yang
menghantam hatinya yang dalam, dan berkata “Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa
membuatmu bahagia. Seharusnya seumurmu yang sudah 13 tahun ini, kau mengenyam
sekolah seperti anak-anak lainnya, tetapi kau tidak. Ayah merasa bersalah.
Sekali lagi maafkan Ayah.”
“Kata siapa Jono tidak bahagia! Jika Jono selalu
bersama Ayah, itu sudah membuat Jono bahagia. Bahagia bukan ketika dapat
mempunyai apa-apa, tapi ketika Jono dapat menerima apa-apa yang telah ada,
meskipun hanya nasi ini.” Itulah pandangan Jono. Kemudian Jono melihat nasi yang masih berada di
tangan ayahnya. Lanjut Jono yang sebentar berhenti: “tidak sekolah pun, tidak
masalah, Yah. Toh, hidup di jalanan ini, Jono sama belajarnya, belajar
untuk menerima. Ini adalah pelajaran yang berharga bagi Jono.”
Entah kenapa Jono begitu lugas dalam menyampaikan
isi hatinya kepada Ayahnya. Nyaris ayahnya terdiam dan tak mampu membalas kata;
namun tangislah yang menjawab. Tiba-tiba mereka saling berpelukan erat: Pelukan
cinta seorang ayah dan anak yang menambah penguat ikatan keduanya. Tangis
membuncah dari keduanya. Mereka tidak mempedulikan siapapun yang melihat.
Seoalah hanya merekalah yang berada di tempat itu, tidak
ada orang lain.
Lama mereka berpelukan, Ayah Jono mengajak anaknya
makan bersama. Sebungkus nasi yang tidak cukup untuk membuat kedua perut mereka
kenyang, mereka makan bersama. Meskipun
tidak membuat perut kenyang, tetapi bisa membuat mereka kenyang keceriaan hari
ini. Setelah makan, mereka tertawa seoalah tadi tidak terjadi sesuatu apapun. Yah barangkali tertawa adalah
sebaik-baiknya cara mengkritik negara yang abai dan dzolim dengan mereka
berdua.
Yogyakarta, 28 November 2015
Moh. Ibrahim, mahasiswa Perbandingan Agama
Moh. Ibrahim, mahasiswa Perbandingan Agama
0 Response to "Pemulung"
Posting Komentar