Oleh:
Romli Muallim
Man Tarokal 'ula Tarkul Layali
(barang siapa yang menginginkan kemulyaan, jangan tidur malam). Statement
filosofis, mengandung interpretasi yang sangat dalam. Keinginan untuk menjadi
mulia menjadi impian setiap orang, sebab status sosial menuntut setiap insan
untuk dihormati dan disegani.
Warung kopi di D.I Yogyakarta manjadi tempat favorit bagi
mahasiswa, dengan harga yang sesuai dengan kantong dan tempat yang cukup nyaman
untuk menumpahkan segala keluh kesah. Di warung kopi kerap menghasilkan ide-ide
baru yang briliant, menghasilkan catatan penting yang mengesankan.
Banyak sekali mahasiswa menyelesaikan tugas kampus atau tugas organisasinya di
warung kopi, seakan setiap tetes dari secangkir kopi mengalirkan inspirasi-inspirasi
baru yang mampu mendobrak segala macam persoalan. Dilihat dari statement
di atas, apakah ngopi malam mampu melahirkan kemuliaan sebagaimana yang
ungkapan MAN TAROKAL 'ULA TARKUL LAYALI? atau ngopi malam hanya menjadi
rutinitas yang kurang bermanfaat jika dipandang dari kacamata spritualitas
religius?
Kegeneralan statement di atas tidak menunjukkan spesifikasi
kegiatan apa yang harus dilakukan, tidak menjelesakan bagaimana langkah konkrit
agar setiap aktivitas malam membawa anugerah berharga dalam status sosial
kemuliaan yang dimaksud.
Banyak interpretasi yang mangatakan bahwa hanya tidak tidur malam
anugerah kemuliaan itu dapat dipetik, baik itu hanya diam, hanya nongkrong, dan
hanya ngobrol saja tanpa kegiatan religius. Interpretasi itu yang banyak
dijadikan landasan oleh kebanyakan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang membunuh
malamnya dengan ngopi, baik ngopi itu dibungkus dengan diskusi atau hanya
memetik senar gitar dan bernyanyi. Idealnya bagaimana kegiatan malam menjadi
kegiatan yang produktif, menjadi semacam tangga untuk melangkah ke status yang
lebih tinggi.
Saya pribadi sebagai mahasiwa akademis dan aktivis merasa
mendapatkan banyak manfaat yang dihasilkan di warung kopi, baik itu hal
keilmuan, pendidikan, politik dan masalah organisasi. Bahasa “ngopi” di
Yogyakarta seakan ajakan untuk diskusi, dialetika, dan bertukar pengalaman.
Oleh karena itu, ngopi tidak hanya mengeluarkan uang untuk membeli kopi dan
rokok tapi juga mendapatkan ilmu yang tidak bisa didapatkan di kampus.
Setidaknya dalam teori ekonomi pengeluaran dan pemasukan stabil, input
dan output-nya jelas.
Mari kita ngopi, mari kita diskusi membicarakan masa depan yang
pasti!
Di hadapan kopi kita sama, tidak ada yang lebih pintar, tidak ada
senioritas dan junioritas, yang ada adalah bertukar pikiran dan saling adu argument.
Mungkin dengan budaya ngopi yang demikian masuk dalam statement di atas,
budaya yang mengantarkan pada kemuliaan yang diharap, budaya yang mampu
menghasilkan benih-benih penerus bangsa yang militan.
Tapi yang menjadi persoalan, apakah kesadaran itu tetap menyala
dalam hati mahasiswa? Kesadaran organik yang sudah seharusnya terinternalisasi
dalam setiap mahasiwa. Bukankah para pemikir barat banyak menghasilkan idenya
di warung kopi?
Seduh kopimu, bangkitkan inspirasimu!
0 Response to "Kopi Malam"
Posting Komentar