TUKANG kayu itu masih terperangah memandang cahaya putih, keluar dari sungai
yang mengalir ke rongga tubuhnya yang kerontang. Berselimut kerinduan hitam
pekat. Matanya nyaris tak berkedip ketika cahaya itu membentuk dua lingkaran
kecil seperti mata, dan di antara kedua lingkaran itu tumbuh beberapa
garis-garis memanjang dan membentuk lekuk tubuh, seperti lekuk tubuh seorang
perempuan. Ia masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi di malam itu.
Ia mengucek kedua matanya dna emncubit-cubit pipinya, lantas memperjelas bahwa
yang dilihanya bukanlah hanya sekadar mimpi dlama tidurnya.
"Kamu siapa?"
"Kamu siapa?"
Dengan suara yang sedikit gemetar, si tukang kayu memberanikan diri bertanya. Tetapi pertanyaannya mengapung dan hanya terjawab oleh senyum yang terpulas di bibir perempuan sungai itu. Mungkinkanh dia perempuan yang Tuhan ciptakan untuk memahami hari sepiku? Dalam hatinya berbisik.
Lalu si tukang kayu membalas senyum perempuan sungai itu. Keduanya beradu senyum. Suatu ketika bulan dan bintang pun terjatuh, dan menjelma menjadi bunga-bunga dari beribu musim, yang berloncatan drai kepala mereka. Tiba-tiba... Wuuuuiiissszzz. Perempuan sungai itu menghilang.
***
SINGKAT cerita. si
tukang kayu jatuh cinta kepada perempuan yang keluar drai sungai itu. Setiap
kali ai pergi mencari kayu ke hutan, tidak lupa ia sempatkan mengunjungi
perempuan di sungai itu.
"Siapa
namamu?" Si tukang kayu bertanya. Tetapi pertanyaannya lagi-lagi tidak dijawab
oleh perempuan sungai itu.
"Baiklah, akan
kupanggil kamu putri sungai, karena kamu terlahir dari sungai. Maukah kamu
menjadi pendamping hidupku?" Putri sngai tersenyum. Mungkin ia mau , tapi
malu untuk mengatakannya. Gumam si tukang kayu.
Begitulah cerita pendek
si tukang kayu, ia bermain cinta dengan putri sungai yang sangat cantik, manis
dan langsing. Sempurna.... Bahkan kesempurnaannya melebihi artis sinetron.
Melebihi perempuan-perempuan yang pernah ia lihat di muka bumi ini. Si tukang
kayu merasa sangat beruntung bisa memiliki putri sungai itu. Kisah cinta yang
snagat indah dna mustahil baginya. Tetapi, ia pernah mendengar seorang cerpenis
pernah berkata, tidak ada hal yang tidak mungkin atau mustahil di dalam cerita
pendek. Lantas si tukang kayu bahagia, ia memeluk putri sungai, menciumnya,
mengajaknya berdansa, mengarungi malam demi malam bersamanya.
***
***
DULU aku pernah mempunyai seorang istri. Ia cantik sepertimu. Meskipun ia
agak sedikit cerewet, tetapi ia sangat setia menemaniku. Ke hutan untuk mencari
kayu, ke desa seberang untuk menjual kembali kayu yang sudah aku rangkap, dan
ke mana pun. Namun, ada satu tempat yang ia tidak pernah mau bila kuajak ke
sana. Paris. Ya ke Paris akan terlihat romantis, bukan? Melihat menara Eifel
sambil makan kacang rebus di sana. Ah, gombal. Bagaimana caranya kita ke sana?
Kamu kan hanya tukang kayu. Ongkos ke sana kan mahal? Untuk makan pun kita
masih jarang-jarang. Haha, aku masih ingat sifat cerewetnya itu. Sulastri
istriku. Namanya Sulastri. Ia istriku. Ia senang menari-nari, bernyanyi, dan
suka sekali memetik bunga-bunga di tepian sungai ini, apabila lelah sedang
merangkulnya. Ia juga senang sekali apabila kurebahkan kepalanya ke dadaku.
Lalu, aku berkata; istirahatlah, Dik. Jika kamu lelah, Begitulah kataku sambil
mengelus rambutnya yang terurai. Ah, kenangan yang terlalu indah untuk
kulupakan!" Si tukang kayu panjang lebar menceritakan perihal kisah
hidupnya bersama istrinya dulu kepada putri sungai.
"Lalu, di mana istrimu sekarang?" Putri
sungai bertanya.
"Istriku telah mati." Si tukang kayu menghela
napas.
"Mati kenapa?"
"Mati kenapa?"
"Kecebur sungai
ini."
"Kenapa kamu tidka
menolongnya?" Si tukang kayu terdiam
***
SUATU malam yang snagat dingin, yang dinginnya bisa membekukan kulit dan
menusuk-nusuk tulang sungsum, terlihat sekumpulan lelaki di warung. Tidka
begitu jelas yang mereka kerjakan di sana. Bermusyawarah, sekadar bermain kartu
saja, atau membicarakan hal yang tidak seharusnya dibicarakan.? Entahlah. Yang
jelas, kebanyakan dari mereka yang ada di warung itu, dua di antaranya sedang
duduk santai menyeruput kopi hitam, sambil menikmati sebatang rokok.
"Akhir-akhir in,i
kamu tampak senang sekali, Jok?" Burhan, teman seprofesi Joko bertanya
kepadanya, perihal perubahan sikapnya, yang dulunya selalu murung, kini
tiba-tiba sumringah.
"Ah, kamu ini. Aku kan begini mulai sejak dulu-dulu, Han." Joko tersenyum-senyum.
"Ah, kamu ini. Aku kan begini mulai sejak dulu-dulu, Han." Joko tersenyum-senyum.
"Ya, memang benar.
tetapi, itu sebelum kematian istrimu, Sulastri!"
Joko terdiam sejenak,
menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya seraya berkata; "Aku
sudah menemukan Sulastri."
"Siapa, Jok?"
Burhan penasaran.
"Namanya, putri
sungai."
"Hah, siapa?"
"Putri
Sungai."
"Hahaha... ada-ada
saja kamu, Jok?" Burhan tertawa, menganggap Joko hanya bergurau.
"Kenapa kamu
tertawa? AKu tidak berbohong!" Joko geram, Burhan terdiam.
"Kalau kamu mau
tahu kepada kekasihku itu, ikut aku besok malam. Akan kubuktikan, kalau aku
lagi tidak mengada."
***
WAKTU menunjuk bulan, jarum jam menusuk angka tujuh. Tibalah Joko dan Burhan di tempat putri sungai. Keduanya bersembunyi di balik semak sambil mengintip-intip.
"Di mana kekasih yang kamu ceritakan itu, Jok?" Burhan bertanya.
WAKTU menunjuk bulan, jarum jam menusuk angka tujuh. Tibalah Joko dan Burhan di tempat putri sungai. Keduanya bersembunyi di balik semak sambil mengintip-intip.
"Di mana kekasih yang kamu ceritakan itu, Jok?" Burhan bertanya.
"Ia lagi duduk di
bawah pohon dekat sungai itu, Han!" Dengan suara lirih Joko mengangkat
jari telunjukknya ke arah pohon.
"Di mana?"
tanya Burhan penasaran.
"Sebentar, aku
akan ke sana, menjumpainya."
Joko bangkit dna
melangkah ke arah pohon itu. Sementara Burhan terheran-heran, melihat
Joko di pohon itu sedang
bercakap sendirian. (k) []
Khairur Rosikin,
Mahasiswa Ushuluddin dan Pemikiran Islam,
Prodi Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
bergiat di Llesehan Sastra Kutub Yogyakarta.
bergiat di Llesehan Sastra Kutub Yogyakarta.
0 Response to "Kenangan Tukang Kayu"
Posting Komentar