Oleh Ulinnuha*
Pendidikan, adalah sarana untuk mengeksplorasi potensi yang ada pada
diri seseorang. Dalam pendidikanlah seseorang mampu mewadahkan potensinya untuk
diarahkan kepada nilai yang bernilai lebih. Substansi dari pendidikan adalah
penggalian sebuah ilmu untuk dijadikan sebagai pondasi dalam menganalisa setiap
masalah, ntah dalam bentuk apa saja. Nampaknya, substansi dunia pndidikan keilmuwan semakin jauh dari keharusannya.
Seakan keberadaan dunia pendidikan hanyalah media formal yang di dalamnya
sebagai keformalan dalam menyandang gelar lulusan. Saya tidak memahami apa yang
menjadi awal mula motif bangsa ini harus menganut system yang demikian.
Jika melihat lebih jauh, media pendidikan
sekarang memang benar tidak membidik substansi keilmuwannya, melainkan hanya
sebagai media formal sandang gelar lulusan. Jadi, tidak usah menganggap lulusan
ini akan menjadi apa apabila kita melihat dari metodologi pembelajarannya.
Syarat untuk menjadi lulusan terbaik / dikatakan orang pintar hanya dinilai
sebatas perolehan ijazahnya. Memang, yang demikian itu penting, namun seberapa
besarkah porsi kepentingan yang diletakkan untuk itu? Jika hal itu malah
membuat kebobrokan sebuah system keilmuwan, mengapa tidak dicarikan sebuah
solusi. Perhatikan fenomena yang ada pada dunia pendidikan sekarang. Tidak sedikit
seorang pendidik hanya menekankan nilai angka yang tinggi, tanpa melihat
kelebihan-kelebihan nilai yang lain. Hal demikianlah yang mematikan potensi
seseorang. Seseorang akan dipahami bodoh / tidak cerdas jika tidak memiliki
nilai yang tinggi.
Coba
pahami, berapa ilmuwan yang dikatakan bodoh yang akhirnya malah memberikan
sumbangann keilmuan yang besar, salah satunya adalah “Albert Einstein”. Saya
sangat menyayangkan apabila kepintaran dan kebodohan seseorang hanya diukur
sekilas dari angka nilai yang diberikan pengajar keilmuwan. Manusia adalah
manusia, siapa yang akan mampu mengukurnya?. Sebenarnya keilmuan ini mau dibawa
kemana? Dibawa kepada kebutuhan si anak didik atau kebutuhan si pendidik. Tidak
jarang seorang lebih memilih untuk memperjuangkan nilai yang diberikan kepada
si pendidik daripada melihat substansi keilmuwannya. Alhasil, budaya mencontek
menjadi sebuah hal yang lumrah. Karena yang diinginkan adalah nilai dari si
pendidik daripada nilai substansi keilmuannya. Bangsa ini, akan menjadi bangsa
yang kehilangan jati dirinya karena sebuah pendidikan.
Saya tekankan lagi, hal ini adalah sangat disayangkan.
Sebuah ilmu mestinya mengantarkan seseorang pada jati dirinya untuk mengantarkan
kepada tujuan hidupnya. Nilai dari ilmu sendirilah yang terpenting. Bukan sebuah
nilai yang diberikan si pendidik. Karena, tentu seorang pendidik tidak mungkin
dapat melihat keutuhan kemampuan kita. Yang ingin saya tekankan disini adalah, metode
keilmuan yang mementingkan hasil lulusan atau kesimpulan nilai dari pendidik
itu harus kita evaluasi seberapa pentingnya bagi diri manusia. Karena, jika hal
itu malah akan membawa seseorang pelajar untuk tidak mengenali substansi
keilmuwan yang telah ditelaahnya. Lebih baik tidak bergelut pada pendidikan
formal, jika malah menjauhkan dirinya dari jati diri manusia maupun keilmuan.
*Mahasiswi di Program Studi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga,
Pegiat di bidang Kepenulisan dan Sastra
0 Response to "Rekonstruksi Nilai Pendidikan"
Posting Komentar