Salah satu tradisi
yang dibangun oleh leluhur kita adalah tradisi silaturrahim kepada alumni ataupun
kepada sesepuh yang lebih lama mengalami pahit manisnya hidup dan lebih dahulu
bergerilya menapaki pengetahuan. Tanggal 23 juni 2016 menjadi sebuah kehormatan
bagi Rayon Pembebasan untuk sowan dan sharing
pengetahuan dengan Bapak Yudian Wahyudi yang sekarang menjabat sebagai Rektor
UIN sunan kalijaga, Yogyakarta.
Selepas tarawih,
penulis bekesempatan menyambangi kediaman Rektor UIN Sunan kalijaga,
bersama pengurus Cabang PMII Yogyakarta, pengurus Komisariat dan perwakilan rayon-rayon
UIN Sunan Kalijaga.
Dengan gaya khasnya,
dia menyampaikan pengalaman hidupnya sampai menjabat sebagai orang nomer satu
di UIN Sunan kalijaga, dia menyampaikan pesan-pesan kepada kami tentang banyak
hal, di antaranya adalah kelemahan mahasiswa pergerakan yang kurang
memperhatikan IPK serta hanyut dalam organisasinya sehinggga lupa akan jati
dirinya. dia banyak bercerita tentang masa depan mahasiswa dan peran mahasiswa.
Menurutnya menjadi aktivis adalah keharusan dan
mendapat nilai baik di bangku kuliah adalah kewajiban, harus balance antara aktivis dan akademis.
Ungkapan itu sangat menarik bagi penulis disebabkan banyak mahasiswa pergerakan
yang apatis akan akademis, mereka merasa bangga dengan pergerakannya dan acuh
tak acuh terhadap kuliahnya. Jika banyak
orang berkata bahwa mahasiswa adalah intelektual muda yang akan membebaskan
bangsa, akan lain ceritanya jika mereka sudah tidak peduli terhadap legitimasi
formal yang mendukung ke-inteletualannya yang dalam hal ini dibuktikan dengan
IPK. Mohammad Hatta membahasakan intelektual dengan kerja akal dan moral. Kerja
akal adalah mencari pengetahuan dan kebenaran, sedangkan kerja moral adalah
menyampaikan kebenaran itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan
manusia dari penderitaan.
Oleh sebab itu,
jika mahasiswa dinobatkan sebagai kaum intelektual atau sudah memenuhi syarat
disebut sebagai intelektual karena fasilitas yang didapatinya, seharusnya bisa
membuktikan keintelektualannya dengan nilai pengetahuan yang didapatkan di
bangku kuliah. Jika tidak, mahasiswa belum layak disebut intelektual
secara prosedural pemerintah. Begitu juga jika memakai istilah Hatta, bahwa
kerja akal dan moral adalah sesuatu yang berjalan beriringan yang harus
dilakukan mahasiswa, dalam artian tidak mengkotak-kotakkan antara akademisi dan
aktivis sebab klasifikasi antara akademisi dan aktivis dalam historisnya adalah
produk orde baru yang bertujuan membungkam mahasiswa dari peran dan fungsinya.
Rektor UIN yang
menyandang status guru besar sekaligus alumni Harvard University tersebut mengatakan bahwa sudah seharusnya
setiap langkah mahasiswa adalah membebaskan manusia dari keterkungkungan sistem
yang menindas dan kekuasaan yang mementingkan perutnya sendiri. Dia mengutip
dari sejarah lahirnya Nabi Muhammad dan tujuan diutusnya para Nabi ke muka bumi
ini. Selain untuk membebaskan dari sistem kapitalistik dan perbudakan, Nabi
muhammad juga tidak menyimpan rasa ego individunya, contohnya paman Nabi
Muhammad, yakni Abu Sufyan adalah salah satu yang paling menentang Nabi, tapi
Nabi tidak membalasnya. Malah dalam kepemerintahannya memberikan dana
pensiun terhadapnya. Islam datang untuk membebaskan bukan untuk balas dendam
apalagi membawa ego sektoral yang sangat merugikan.
Hal yang paling
penting bagi mahasiwa sekarang ini menurutnya adalah bagaimana mensinergikan
antara kerja akal yang dibuktikan dengan IPK dan tidak tercerabut dari peran
dan fungsinya. Mahasiswa yang bertanggung jawab terhadap kerja akalnya dan
kerja moralnya, menimba pengetahuan sebanyak mungkin dan diaplikasikan
seoptimal mungkin. Bergerak membebaskan dari penderitaan dengan pengetahuan
yang diperolehnya. Mengaplikasikan buah pikirannya dengan tulisan atau
sesamanya untuk menyuarakan pembebasan, menjadi rahmat bagi sesamanya dan
berteriak lantang akan kebenaran.
*Romli
Muallim, Ketua Rayon Pembebasan, Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam , UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
0 Response to "Menyambangi Rektor UIN Sunan Kalijaga*"
Posting Komentar